
PR GARUT- Saat ada kabar baik dari Gedung DPR RI mengenai niat untuk mencabut larangan pembentukan wilayah daerah otonom baru (DOB), cahaya harapan mulai bersinar lagi di bagian timur Kabupaten Banyuasin. Tetapi, meskipun beberapa area lainnya sudah termasuk dalam daftar permohonan pembentakan, Banyuasin Timur malah tetap tertahan dalam periode penantian yang lama dan tak menentu.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi II DPR RI dengan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri pada tanggal 24 April 2025 mengirimkan pesan jelas bahwa proses pembentukan wilayah baru kemungkinan besar akan diaktifkan kembali usai bertahun-tahun tertahan. Anehnya, namanya yaitu Banyuasin Timur tak masuk ke dalam deretan kabupaten atau kotamadya yang berpotensi untuk dipetakkan ulang.
Untuk Sukardi, Wakil Ketua Presidium Pembentukan Kabupaten Banyuasin Timur, hal ini bukan sekadar rasa kecewa, melainkan juga sebuah pertanyaan besar: Apa lagi yang masihkurang dari kami?
Sudah ada persetujuan dari DPRD Kabupaten dan dukungan penuh dari Bupati. Namun, kita terhalang oleh DPRD Provinsi Sumsel karena belum adanya paripurna. Sukardi berkata dengan nada yang penuh kekecewaan.
Sukardi menyebut, pihaknya telah dua kali melakukan audiensi dengan Ketua DPRD Provinsi Sumsel. Tapi hingga hari ini, palu paripurna yang dinanti tak kunjung diketok. Padahal, wilayah-wilayah yang diusulkan untuk masuk dalam Kabupaten Banyuasin Timur seperti Air Saleh, Muara Telang, Karang Agung Ilir, hingga Air Kumbang, telah lama merindukan pelayanan publik yang lebih dekat, cepat, dan efektif.
Pembentukan Kabupaten Banyuasin Timur bukan hal baru lagi. Ini merupakan cita-cita lama yang selalu dibela lewat perjalanan berliku namun dipenuhi harapan. Para pengikut setia tidak hanya memiliki gagasan; mereka sudah mempersiapkan lokasi untuk gedung administratif di Desa Cinta Manis Baru serta Desa Nusa Makmur. Hal itu membuktikan bahwa visi tersebut lebih dari sekedar diskusi semata, tetapi menjadi skema konkret.
“Lahan sudah ada, tinggal keputusan politik. Kami tidak ingin sekadar jadi penonton ketika daerah lain melaju lebih dulu,” kata Sukardi.
Dengan area mencakup 115 desa di 12 kecamatan, kawasan tersebut secara teknis telah memenuhi berbagai persyaratan administratif dan aspek sosio-ekonomi untuk memiliki status otonomi sendiri. Akan tetapi, kemajuan nyata menghadapai hambatan pada level provinsi, seperti East Banyuasin tersandera dalam lingkaran politik yang kurang mendukung harapan masyarakat pedesaan.
Meskipun pusat telah melepas hambatan dengan menarik kembali larangan tersebut, namun di tingkat lokal, perkembangan pembentukan wilayah sering kali terhalangi oleh masalah politik daripada hal-hal teknis. Saat Jakarta meraih tangan mereka, Sumateran Selatan belum benar-benar menerima.
Untuk warga senior, remaja aktif, serta para kepala suku di wilayah Banyuasin Timur saat ini semakin gencar mengemukakan bahwa perubahan struktural tak sekadar diperlukan dari segi birokrasi, tetapi juga sebagaimana halnya hak atas pengembangan yang merata.
Menanti Peluang, Bukan Janji Kosong
Masyarakat Banyuasin Timur bukan menuntut istana megah, melainkan jembatan keadilan dan perhatian yang nyata. Dengan pemerintahan yang lebih dekat, mereka yakin kualitas hidup akan meningkat, pelayanan kesehatan lebih mudah dijangkau, dan infrastruktur tidak lagi terbengkalai.
Kini bola ada di tangan DPRD Provinsi dan Gubernur Sumatera Selatan. Apakah mereka akan menyambut sinyal dari pusat dan mengabulkan mimpi Banyuasin Timur? Atau justru membiarkan wilayah ini terus menjadi anak tangga terakhir dalam tangga pembangunan?***
Komentar
Posting Komentar