
- Di sebuah sudut kota Jakarta yang tidak pernah benar-benar terlelap, Surmiyati (44) duduk di teras rumahnya, mengenang liku-liku kehidupan yang telah membentuknya.
Mata Sumiyati yang tajam menatap ke depan, melihat ke belakang ke jalan yang panjang dan penuh dengan perjuangan yang telah ia tempuh selama lebih dari dua dekade.
Perempuan dari Bukittinggi, Sumatera Barat itu sekarang berdiri di puncak pencapaian yang dahulu hanya menjadi impian baginya.
Tapi, kesuksesan tidak datang dengan mudah.
"Saya dulu hanya bermain-main saja, tidak menabung, sekarang saya tidak punya apa-apa lagi," ucapnya pelan saat ditemui di Petukangan Utara, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
Membangun harapan di tanah asing
Pada tahun lalu, dengan sejuta harapan, Surmiyati menginjakkan kaki di Jakarta.
Berbekal ijazah Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Perhotelan, dia meyakinkan orang tuanya bahwa ibu kota adalah tempat di mana masa depan yang lebih baik menanti dia.
Tapi kenyataannya, Jakarta bukan hanya kota dengan peluang, tetapi juga tempat yang menantang bagi mereka yang berani mengincar keinginan mereka.
Awalnya, Surmiyati tinggal bersama kakaknya dan membantu berdagang di Tanah Abang.
Ia melaksanakan administrasi, mempersiapkan barang, serta memastikan pengiriman ke luar negeri dengan lancar tanpa adanya protes.
Namun, Surmiyati menyadari bahwa ia harus berdiri sendiri atas kaki sendiri.
"Saya harus mandiri," pikirnya dalam hati.
Siang hari, Surmiyati bekerja. Malam hari, ia belajar. Akhir pekan pun bukanlah waktu untuk beristirahat.
Berjualan di Masjid
Sumiyati berdagang sendiri, menjajakan kaus kaki di masjid-masjid. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain, keluar masuk gedung perkantoran untuk menawarkan tas.
Dia pernah diusir oleh satpam, pernah kehilangan dagangannya, tapi semangatnya tidak pernah padam.
"Satu tas untungnya Rp 10.000. Kalau bisa jual lima sehari, dapatlah Rp 50.000 untuk makan dan kuliah," katanya.
Dua tahun menjadi penjual tas, kemudian muncul harapan. Surmiyati diterima bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan Jepang setelah lulus kuliah pada tahun 2004.
Tetap, pekerjaan tidak membuatnya berhenti berjualan. Setiap akhir pekan, ia masih berkeliling menjajakan dagangan.
"Rekan-rekan di tempat kerja sering bertanya, 'Mengapa wajahmu terlihat kusam?' Saya menjawab, 'Iya, saya bermain.' Padahal, saya menjual di bawah terik matahari," ujarnya dengan tertawa kecil.
Membangun mimpi dari nol
Pada tahun 2008, Surmiyati menikah dengan Roy Saputra (42). Bersama suaminya, ia memulai kehidupan baru dengan berdagang di Thamrin City.
Awalnya, semuanya terkesan sulit. Satu tahun pertama, modal tidak kembali, tapi Surmiyati tidak menyerah.
"Satu tahun pertama, modal tidak kembali. Suami mulai mempertanyakan, tapi saya yakin bisa," katanya.
Dia mulai mencari peluang baru dan membuka bisnis kerudung dengan merek "Sayra".
Setiap hari, dia berdagang mulai subuh hingga sore, kemudian pergi ke konveksi hingga larut malam. Tidur hanya satu jam sehari bukanlah hal yang biasa baginya.
"Masih muda dan masih semangat," kata mertua saya dengan sedih. "Katanya, 'Apa yang dicari? Kok segitunya cari duit.' Tapi saya masih muda, masih semangat," katanya sambil tersenyum kecil.
Perlahan-lahan, bisnisnya berkembang. Dari berjualan sendirian, ia kini memiliki ratusan reseller di seluruh Indonesia. Sayra memiliki tiga konveksi dan lebih dari 50 karyawan.
"Waktu ramai, omzet ratusan juta rupiah per bulan. Orderan dalam seminggu bisa mencapai 1.000-an," katanya.
Tapi, badai tiba-tiba datang. Pandemi Covid-19 menghancurkan bisnisnya.
Tabungan yang dimiliki Sumyati dan suaminya telah dikumpulkan habis untuk membangun rumah mereka, sedangkan penjualan (saham) anjlok drastis.
Dari tiga usaha konveksi, hanya satu yang masih bertahan.
"Permintaan berkurang menjadi separuh dari seminggu lalu," ujarnya pelan.
Tetapi, ia tidak menyerah. Pada 2022, ia memulai penjualan melalui live streaming. Awalnya, hanya sedikit orang yang menonton, bahkan ada yang mengejeknya.
"Suaranya semakin serak karena banyak berbicara. Tapi saya tetap melanjutkan," katanya.
Menembus Singapura hingga Dubai
Saat itu, pelanggan mulai berdatangan. Kepercayaan yang ia bangun selama bertahun-tahun menjadi kekuatannya.
"Oh, ini Sayra? Saya dulu sering belanja di Sayra!" kata seorang pelanggan di siaran langsungnya.
Saat ini, bisnisnya telah kembali stabil. Pendapatannya mencapai puluhan juta rupiah per bulan, dengan dua pabrik konveksi yang sudah beroperasi kembali.
Produk Sayra telah menembus pasar internasional, dari Singapura hingga Dubai.
Setelah 17 tahun berkecimpung di dunia perdagangan, Surmiyati menyadari bahwa bisnis bukan hanya tentang menjual, tetapi juga tentang keyakinan dan ketekunan.
Sekarang, dalam usianya yang mendekati setengah abad, Surmiyati tidak hanya membangun bisnis, tetapi juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Dia membuktikan bahwa dengan ketekunan, keberanian, dan kepercayaan, mimpi yang semula hanya setitik cahaya bisa menjadi terang yang menyinari banyak orang.
Jurnalis: Baharudin Al Farisi | Editor: Fitria Chusna Farisa
Komentar
Posting Komentar